Kamis, 25 Februari 2010

KATUP KECIL DARI UAD YOGJAKARTA

KATUP KECIL DARI UAD YOGYAKARTA
Sebagai Momentum Kebangkitan Bangsa
Oleh: Suhardi


Suatu pagi saya iseng-iseng membuka klipingan artikel dari harian Kompas, 3 Desember 2009 yang belum sempat saya abaca. Di dalam artikel tersebut diberitakan bahwa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta menghentikan pengiriman dosen untuk kuliah di Malaysia. Keputusan itu dimbail karena kualitas pendidikan tinggi di Malaysia dinilai tidak lebih baik dari perguruan tinggi di Indonesia. Selanjutnya UAD akan mengirimkan dosen-dosennya untuk belajar di beberapa negara yang pendidikan tingginya dinilai bagus, yaitu Jepang, Australia, atau negara-negara di Eropah.

Ada dua hal yang menarik dari isi pemberitaan di atas. Pertama, bahwa yang melakukan penghentian itu adalah UAD Yogyakarta. Kalau kita menyebut nama UAD, maka dalam benak kita yang muncul adalah sebuah perguruan tinggi Islam dan berstatus swasta. Pertanyaannya adalah ada apa dengan perguruan tinggi Islam dan ada pula dengan perguruan tinggi swasta? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dijelaskan terlebih dahulu bahwa Malaysia yang selama ini diinformasikan lebih baik dari Indonesia dalam hal pendidikan tinggi adalah negara yang lebih kental keislamannya. Tentu saja ketika yang dihadapkan untuk menghentikan pengiriman dosen ke Malaysia adalah perguruan tinggi Islam, maka akan muncul kesan bahwa tidak semua perguruan tinggi Islam tidak berani untuk bersikap kritis apalagi berani untuk “memutuskan” kerjasama terhadap Malaysia karena ada benang keislamannya itu. UAD Yogyakarta secara kebetulan juga merupakan perguruan tinggi swasta. Hal ini menimbulkan kesan bahwa ternyata untuk kelas perguruan tinggi swasta pun, kini Malaysia sudah tidak diminati. Ini bukan berarti bahwa semua perguruan tinggi swasta kualitasnya rendah dari perguruan tinggi negeri. Ada beberapa perguruan tinggi swasta yang cukup berkualitas, sebut saja Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Paramadina, Universitas Atmajaya, dan sebagainya.

Kedua, pemberitaan ini dimunculkan dalam waktu yang tepat. Pada saat ini tampaknya kesan bahwa pendidikan tinggi di Malaysia lebih baik dari Indonesia sepertinya sudah diiyakan oleh banyak kalangan. Di dalam forum-forum seminar atau semacamnya banyak pembicara yang menyatakan akan hal itu. Tetapi di sisi lain kita juga dibuat gregetan dengan ulah Malaysia yang sering mengusik keindonesiaan kita. Malaysia sudah berani merebut pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayahnya. Malaysia juga berani mempromosikan dunia luar melalui internet bahwa salah satu kepulauan kecil di wilayah Provinsi Riau sebagai asetnya dan ditawarkan untuk dijadikan sebagai tujuan wisata. Yang menyakitkan lagi adalah Malaysia mengklaim beberapa kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaan Malaysia, seperti Tari Pedet, Tari Reog, dan juga beberapa lagu daerah.

Tampaknya Malaysia yakin benar bahwa dirinya lebih baik daripada Indonesia. Adanya pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysa juga semakin meyakinkan Malaysia tentang hal ini. Dengan keyakinannya itu Malaysia menyangka kemudian bisa berbuat semaunya terhadap Indonesia. Malaysia mengira bahwa masyarakat Indonesia yang sekarang dalam posisi sedang terpuruk itu akan mudah untuk diperdaya. Inilah tampaknya yang mendasari dikembangkannya sikap-sikap over acting yang ditunjukkan oleh Malaysia kepada negara tetangganya yang dulunya merupakan penolong bagi dirinya—karena pada tahun 1970-1980-an Malaysia banyak mengirimkan mahasiswanya untuk kuliah di Indonesia.

Kita patut bersyukur bahwa pemerintah kita bersikap tenang menghadapi ulah tetangganya yang bisa dianggap adik tersebut. Bukannya kita tidak berani, tetapi selain juga tidak baik bertengkar dengan tetangga dekat juga karena bangsa ini memang sedang disibukkan dengan permasalahan internal yang belum selesai. Daripada mengurusi ulah negara tetangga, bangsa ini lebih memilih untuk memilih berbenah ke dalam terlebih dahulu. Ulah negara tetangga tersebut diambil hikmahnya saja untuk semakin menyadarkan pentingnya membenahi banyak hal yang selama ini belum atau tidak sempat dibenahi.

Sesungguhnya di dalam benak masyarakat bangsa ini secara diam-diam merasa bangga dengan Indonesia dan merasa yakin bahwa kita adalah bangsa yang besar dalam berbagai hal. Dari segi wilayah kita adalah bangsa yang luas. Dari segi pendidik kita adalah bangsa yang banyak penduduknya. Dari segi kekayaan alam, kita adalah bangsa yang kaya. Dari segi kebudayaan, kita adalah bangsa yang kaya dengan keragaman budaya. Dari sisi keharmonisan social, kita adalah bangsa yang mampu hidup toleran. Dan sebagainya. Hanya saja bangsa ini belum menemukan momentum yang tepat untuk bangkit kembali secara revolusioner tampil sebagai negara yang disegani.

Nah, apa yang dilakukan oleh UAD Yogyakarta itu bisa dianggap sebagai katup kecil yang bisa dijadikan sebagai momentum awal bagi kebangkitan Indonesia yang terpuruk sejak 1998 akibat adanya kritis ekonomi dengan berbagai implikasinya. Untuk melakukan kesadaran dan kebangkitan yang besar, memang bisa dimulai dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu. Ibarat sebuah benda kecil yang jatuh di tengah kolam, maka benda itu akan menimbulkan gelombang yang riaknya akan melebar ke seluruh kolam. Langkah UAD Yogyakarta telah memangkas adanya kesan baru yang tidak menguntungkan untuk menjadi kesan permanen. Kesan bahwa Malaysia lebih baik dari Indonesia adalah kesan baru yang jika tidak segera dipangkas akan menjadi kesadaran permanen yang juga tidak menguntungkan.

Namun demikian, kita tampaknya perlu juga berterima kasih kepada Malaysia. Karena ulahnya yang menyebalkan itu menyadarkan akan adanya kelemahan-kelemahan kita yang juga menyebalkan. Bisa jadi kalau Malaysia tidak melakukan ulah yang menyebalkan itu, berbagai persoalan bangsa kita yang menyebalkan juga tidak cepat diselesaikan. Bisa jadi sampai detik ini bangsa kita akan terus menjadi bangsa yang menyebalkan—meminjam istilah Eep Saefullah. Perilaku elit politik yang menyebalkan mungkin akan terus ada, penanganan pendidikan yang menyebalkan mungkin juga tidak akan berubah seperti sekarang ini, pemeliharaan kebudayaan yang menyebalkan mungkin juga akan semakin amburadul, kurangnya keberpihakan kepada ekonomi kerakyatan mungkin juga akan terus berlangsung, konflik-konflik sosial juga akan terus ada.

Tetapi dengan ulah Malaysia yang menyebalkan itu, kini keluarga besar bangsa Indonesia semuanya melakukan pembenahan. Potret moral elit politik kita—mudah-mudahan—semakin baik. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan mengarah kepada perbaikan-perbaikan. Kekayaan kebudayaan sudah mulai dibenahi. Pembangunan ekonomi juga ada keinginan untuk berubah dan mendukung kepada ekonomi kerakyatan. Demikian juga konflik-konflik sosial juga sudah mulai diminimalisasi.













Minggu, 10 Januari 2010

BERJIHAD DALAM ILMU PENGETAHUAN

BERJIHAD DALAM ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Suhardi


Salah satu perbedaan manusia dengan binatang dan makhluk-makhluk lain adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat berbagai potensi yang cukup kompleks. Makhluk-makhluk lain yang cenderung memiliki potensi dominan. Malaikat misalnya, hanya memiliki potensi spiritualitas, iblis atau syetan hanya memiliki potensi hawa nafsu yang mendorong kepada kejahatan, hewan memiliki potensi instink. Tetapi di dalam diri manusia semuanya itu ada, yaitu spiritual, hawa nafsu, dan instink. Selain itu, ada potensi yang khas yang dimiliki manusia, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia mampu untuk menganalisis, bisa meramalkan, dan bisa melakukan uji coba. Melalui akal pulalah manusia kemudian bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Karena begitu kompleksnya potensi yang dimiliki manusia, maka kehidupan manusia pun menjadi sangat kompleks dan dinamis. Manusia menjadi sangat memungkinkan untuk melakukan berbagai perubahan. Perubahan itu sendiri memiliki berbagai kemungkinan, yaitu perubahan ke arah positif dan perubahan ke arah negatif..
Satu hal yang bisa dijadikan pedoman untuk mengukur apakah perubahan itu positif atau negatif adalah mencocokannya dengan aturan Allah (Al-Qur’an maupun as-Sunnah). Di sinilah diperlukan kecerdasan akal. Al-Qur’an menunjukkan hal itu.

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang mendalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah itu). (Q.S. Al-Baqarah: 168)

Dengan demikian, jelaskan bahwa akallah yang mampu menghubungkan apakah perubahan itu sesuai atau tidak dengan kebenaran Allah yang tertuang di dalam al-Qur’an ataupun yang disampaikan oleh Nabi melalui as-Sunnah. Jadi, akal memiliki peran yang sangat menentukan.
Dengan akal yang dimilikinya, saat ini manusia banyak menemukan ilmu pengetahuan dan juga teknologi. Karena begitu produktifnya temuan-temuan akal dalam bidang ilmu pengetahuan dan juga teknologi, maka bisa dikatakan sekarang ini adalah era akal. Hal yang demikian itu adalah sesuatu yang baik-baik saja, karena Islam memang mendorong kepada manusia untuk menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya guna menemukan ilmu pengetahuan dan juga teknologi dengan cara memperhatikan fenomena-fenomena alam.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali Imron/3: 190)

Di sisi lain, Allah juga menegaskan bahwa orang yang bodoh, yaitu orang yang tidak menggunakan akalnya, adalah seburuk-buruk makhluk.

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لا يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. (Q.S. Al-Anfal/8: 22)

Persoalannya adalah benarkah sekarang adalah era akal dan era ilmu pengetahuan? Sebelum menjawab pertanyaan itu, marilah kita perhatikan fenomena berikut:
  1. Pertama-tama Ibn Haitam menemukan Ilmu Fisika khususnya dalam hal cahaya. Pada abad ke-12, Roger Bacon mengembangkannya menjadi ilmu Fisika modern. Demikian pula halnya dengan William Durrant. Mereka mengakui bahwa guru Fisika mereka adalah Ibn Haitam. Dari ilmu Fisika itu kemudian lahirlah kamera dan film. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Banyak bermunculan film-film yang tidak mendidik karena mengangkat tema-tema mistik, kekerasan, dan pornografi.
  2. Einstein setelah bekerja begitu lama di ruang laboratoriumnya, akhirnya menemukan teori tentang atom yang kemudian berkembang menjadi ilmu nuklir. Tetapi sekarang yang kita lihat beberapa negara dengan arogansinya menjadikan nuklir untuk menjajah negeri lain. Bahkan kita bisa menyaksikan dengan senjata nuklir tersebut suatu negara dapat dengan sadis melenyapkan ribuan bahkan jutaan nyawa manusia.
  3. Dunia kedokteran yang dirintis oleh Ibn Sina mengenal adanya ramuan obat-obatan yang berasal dari zat-zat kimia. Tetapi sekarang juga dikembangkan ramuan-ramuan kimiawi yang justru membahayakan kehidupan manusia dalam bentuk psikotropika yang justru merusak milik manusia yang sangat berharga, yaitu akal.
  4. Demikian juga halnya sejak akal menemukan ilmu-ilmu ekonomi. Dengan ilmu-ilmu ekonomi tersebut manusia sekarang mengembangkan Kapitalisme untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan seringkali kurang mempertimbangkan faktor-faktor kemanusiaan.

Apa yang tersirat dari fenomena di atas adalah bahwa sesungguhnya akal saat ini sedang dipenjara oleh nafsu syahwat, kekuasaan, dan keserahan. Dengan kata lain akal telah dieksploitasi oleh hawa nafsu. Dan eksploitasi tersebut sekarang ini benar-benar sudah menunjukkan pada suatu kondisi yang tidak terperikan. Oleh karena itu, kalau kita kemudian mempertanyakan kembali, benarkah sekarang ini adalah era akal dan era ilmu pengetahuan? Dari fenomena di atas, jawabannya ternyata bukan. Yang terlihat adalah bahwa sekarang ini adalah era perbudakan akal dan ilmu pengetahuan oleh hawa nafsu.


Tugas kita sebagai umat Islam, khususnya para pendidik, adalah mengembalikan akal sesuai dengan fungsi dianugerahkannya kepada manusia oleh Allah dan mengembalikan hakikat ilmu sebagai cahaya kehiduan (al-ilmu nuurun). Kalau dunia Barat dengan motif ekonomi dan juga motif hawa nafsu mampu mengembangkan sains dan teknologi, maka umat Islam dengan motif spiritualnya harus lebih gigih menggunakan akalnya untuk menemukan sains dan teknologi. Jadi kita harus mengobarkan jihad dalam ilmu pengetahuan, sehingga masa depan ilmu pengetahuan ke depan tidak menghamba kepada hawa nafsu, melainkan menghamba kepada yang empunya melalui yang diamanahkannya, yaitu manusia.









Jumat, 30 Oktober 2009

STRATEGI PEMBELAJARAN

MENGAJARLAH DENGAN TERSENYUM

Jika kita bersedih maka sekitar kita pun akan diredupi dengan kesedihan, sebaliknya jika kita bahagia, maka di sekitar kita pun akan turut merasa bahagia. Maka dari itu berbahagialah jika kita ingin membahagiakan lingkungan kita.

Kesedihan dan kebahagiaan ternyata bisa menular di lingkungan sekitar kita. Kalau kita bersedih, maka lingkungan kita pun akan bersedih. Cara pandang kita terhadap lingkungan pun menjadi cara pandang orang bersedih. Semuanya menjadi suram, tidak menarik, dan pesimis. Sebaliknya jika kita bahagia, maka lingkungan kita pun akan menjadi bahagia, cara pandang kita terhadap lingkungan adalah cara pandang kebahagiaan. Semuanya menjadi cerah, menarik, dan optimis. Nah, cara untuk menciptakan kebahagiaan adalah dengan tersenyum. Walaupun tidak selamanya tersenyum adalah satu-satu simbol kebahagiaan, tetapi semua orang akan sepakat bahwa tersenyum adalah tanda kebahagiaan, walaupun tidak selamanya.
Ketika kita menemani anak-anak belajar di kelas sebaiknya ketika berinteraksi dengan mereka selalu diiringi dengan senyuman. Tentu yang dimaksud adalah senyuman yang tulus, yaitu senyuman yang didasarkan kepada optimisme bahwa anak-anak yang kita didik niscaya akan menjadi anak-anak yang sukses, anak-anak yang baik, dan anak-anak yang akan bermanfaat bagi dirinya, lingkungannya, bangsa, dan negaranya. Dengan demikian, manakala kita dihadapkan kepada kesulitan pun kita akan menyunggingkan senyum, karena kita tahu bahwa kesulitan itu adalah penguat bagi Keberhasilan mereka. Ibarat anak-anak yang mengikuti lomba panjat pinang pada peringatan 17 Agustus. Mereka tetap saja ceria walaupun berkali-kali jatuh dan disoraki oleh orang lain, karena mereka berharap dan yakin bisa meraih hadiah yang dipajang di atas pohon jambe. Bahkan tidak jarang mereka tidak hanya tersenyum tetapi juga berjoget sebagai bentuk kegembiraan.
Senyuman yang dikembangkan oleh guru pada saat mengajar sesungguhnya memiliki banyak banyak efek positive, baik bagi pribadi guru maupun bagi siswa.

Pertama, senyuman memberikan harapan. Ketika bertemu dengan anak yang kelihatannya kebingungan menyelesaikan tugas, cobalah kita sapa dengan senyuman. Niscaya ia akan mengembang motivasinya apalagi disertai dengan kata-kata positive yang memotivasi. “Bapak yakin, kamu bisa menyelesaikannya. Coba dan coba terus, maka kesulitan itu lama kelamaan akan tersingkap dan menjadi mudah”.

Kedua, senyuman mengakrabkan hubungan. Senyum adalah dari persahabatan. Jika kita tersenyum maka anak-anak akan menjadi akrab dengan kita. Keakraban dengan anak adalah salah satu modal dasar untuk mengembangkan rasa percaya diri kepada anak dan sebaliknya menghilangkan rasa takut dan malu. Banyak anak yang tidak berkembang kecerdasannya karena tidak memiliki rasa percaya diri, malu, dan takut. Oleh karena itu jika seorang guru mengembangkan senyumannya kepada anak-anak, maka berarti tekah menghilangkan hantu bagi kecerdasannya, yaitu tidak percaya diri, malu, dan takut.
Ketiga, senyuman menghilangkan energi negative dan sebaliknya menumbuhkan energi positive. Guru yang tersenyum biasanya akan mampu mengendalikan kejengkelan dan kemarahannya. Ia akan menggantikan kejengkelan dan kemarahannya itu dengan senyuman. Pada gilirannya senyuman itu akan melahirkan kesediaan untuk membantu, kesediaan untuk berbagi, dan kesediaan untuk merasakan kesulitan siswa dan membantu mengatasinya.

Keempat, senyuman menunjukkan kedeasaan dan kewibawaan. Orang dewasa akan mengembangkan senyuman dalam menyelesaikan masalah, sebaliknya anak-anak lebih banyak menyelesaikan masalahnya dengan teriakan, keluhan, dan tangisan. Jadi kalau kita ingin disebut sebagai oran dewasa, maka jika menghadapi masalah jangan mudah untuk berteriak, mengeluh, dan menangis. Senyuman yang kita kembangkan dalam menghadapi masalah juga menunjukkan kepada kita bahwa kita adalah orang-orang yang stabil dalam menghadapi kesulitan sekalipun. Dengan cara demikian, maka anak-anak juga akan menaruh hormat kepada kita. Apa jadinya sikap anak kepada kita kalau kita justru rentan terhadap masalah? Niscaya siswa tidak akan menaruh respek kepada kita, walaupun kita ini seorang guru.
Kelima, senyum membuat kita awet muda. Orang yang tersenyum adalah orang yang sering mengolahragakan bagian mukanya, sehingga akan tampak lentur dan tidak kaku atau menua. Bukan hanya itu saja, orang tersenyum juga mengolahragakan hatinya, sehingga hatinya tidak kaku dan mudah patah. Dengan demikian orang yang tersenyum bukan hanya fisik mukanya yang menjadi elastis, tetapi juga hatinya pun demikian, sehingga akan memperlambat penuaan fisik dan hatinya. Orang-orang yang awet muda adalah orang-orang yang energik sehingga akan mudah menyelesaikan berbagai tugas dan masalah.
Nah, kalau ternyata senyuman memiliki banyak manfaat baik bagi pribadi maupun orang lain, maka adalah sangat tepat kalau dalam mengajar kita selalu mengembangkan senyum. Tersenyumlah, maka niscaya dunia di sekitar kita pun akan tersenyum!!!

PENDIDIKAN AGAMA

MEMPERSOALKAN SEDIKIT
TENTANG PENDIDIKAN AGAMA

Oleh: Suhardi


Ada kesan bahwa pembelajaran agama di sekolah lebih menekankan pada pembelajaran ilmu agama daripada pembelajaran hidup beragama. Hal ini ditunjukkan dengan adanya beberapa hal. (1) Metode pembelajaran agama lebih banyak menggunakan metode ceramah. (2) Ukuran keberhasilan pembelajaran agama lebih banyak menunjuk kepada angka-angka (nilai) yang didasarkan pada hasil-hasil ulangan atau tes tertulis. (3) Perilaku kehidupan sehari-hari siswa masih banyak yang belum mencerminkan nilai-nilai atau ajaran agama, seperti kebersihan, kedisiplinan, kejujuran, toleransi, dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut, melalui tulisan yang singkat ini akan dicoba dijelaskan mengapa hal itu terjadi dan bagaimana kira-kira jalan keluarnya.

Alienasi Ilmu
Pada awalnya orang menuntut ilmu dimaksudkan untuk mempelajari bagaimana bisa hidup. Anak-anak di pantai belajar kepada orang tuanya bagaiman caranya membuat jala dan menggunakannya untuk menangkap ikan. Demikian pula halnya anak-anak petani di pedesaan. Mereka mempelajari bagaimana mengolah tanah dan menanam tanaman dengan baik kepada orang tua dan masyarakat di sekitarnya sehingga pada saat mereka dewasa mereka bisa melakukannya seperti halnya orang tua mereka. Hal ini berlaku juga bagi anak-anak yang dibesarkan di lingkungan perdagangan dan perindustrian. Hasil proses belajar seperti itu pada gilirannya menghasilkan anak-anak yang tidak hanya mengetahui ilmu dan pengetahuan tentang suatu hal tetapi juga terampil dan menguasai bagaimana menggunakan ilmu dan pengetahuannya itu.

Ketika proses pembelajaran itu dipindahkan ke sekolah atau madrasah ilmu dan pengetahuan yang sebenarnya hidup di masyarakat itu kemudian berpindah dari kehidupan nyata ke dalam buku-buku teks pelajaran. Siswa tidak lagi diajarkan oleh seorang pelaut yang sehari-harinya hidup di laut dan tahu betul bagaimana hidup di alam laut. Demikian juga siswa tidak lagi diajari oleh seorang petani yang paham betul bagaimana mengelola lahan pertanian. Di sekolah atau madrasah siswa diajari oleh guru yang bisa jadi atau bahkan kebanyakan mereka hanya tahu tentang kehidupan pantai tetapi ia bukanlah seorang nelayan atau pelaut. Guru tahu sedikit tentang pertanian tetapi ia bukanlah petani. Pemindahan ilmu dan pengetahuan dari kehidupan nyata atau konteks ke dalam buku-buku teks inilah barangkali yang disebut dengan alienasi[1] ilmu dan pengetahuan. Maksudnya adalah bahwa ilmu dan pengetahuan menjadi jauh dari dunia nyata. Anak-anak banyak tahu tentang berbagai hal melalui media yang sudah direkayasa dalam buku-buku teks dan tidak merasakan dan tidak mengalami bagaimana sesungguhnya ilmu dan pengetahuan itu teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Alienasi ilmu tersebut semakin menjadi sangat terasa manakala tujuan pembelajaran tidak dimaksudkan untuk hidup melainkan untuk menghadapi ujian. Ukuran keberhasilan dalam belajar ilmu adalah pada sejauh mana mereka bisa menghafal. Semakin tinggi hafalan mereka terhadap suatu ilmu dan pengetahuan maka anak dinilai sebagai semakin sukses. Demikian pula sebaliknya. Ibaratnya kurang lebih seperti kaset rekaman. Semakin bagus hasil rekamannya, maka akan disebut sebagai kaset yang bagus, sebaliknya kaset itu pelo, maka akan dikatakan bahwa kaset itu jelek atau tidak bagus. Jadi ukurannya bukanlah pada sejauh mana seorang anak bisa mengaplikasikan atau mempraktikkan nilai-nilai dari ilmu dan pengetahuan yang dipelajari ke dalam kehidupan sehari-hari, melainkan pada sejauh mana anak bisa mengerjakan soal-soal tes yang diberikan guru. Model pembelajaran seperti ini kemudian melahirkan anak-anak yang terbelah (split personality). Mereka tahu tetapi mereka tidak paham dan tidak merasakan bagaimana pengetahuan itu dikerjakan atau “bekerja” dalam diri mereka.

Alienasi ilmu dengan implikasinya ini tampaknya juga terjadi dalam pembelajaran agama. Ketika anak-anak belajar Aqidah Akhlak mereka disibukkan dengan menghafal rukun iman dan hal-hal yang terkait dengan keimanan, tetapi mereka kurang paham bagaimana membiasakan rukun iman itu dalam praktik kehidupan sehari-hari. Mereka hafal nama-nama malaikat tetapi mereka kurang paham apa yang harus dilakukan setelah hafal nama-nama malaikat itu. Apa hubungannya Malaikat Israil dengan fenomena kematian manusia yang begitu beragam. Mengapa si A ketika meninggalnya begitu menyenangkan sedangkan si B ketika meninggal kondisinya sangat mengenaskan. Mereka juga tahu bahwa Allah Mahatahu tetapi mereka juga ternyata tidak begitu malu-malu menyontek pada saat ujian. Dan sebagainya dan sebagainya.

Diantara Permasalahan Serius
Kalau ditanya kepada guru agama mengapa Bapak atau Ibu guru begitu serius dan sangat menekankan ilmu dan pengetahuan dalam pembelajaran agama. Mereka akan menjawab: “Karena agar mereka bisa menjawab soal-soal yang akan diujikan pada saat UAS ataupun UAM”. Hal itu sangat terasa terutama pada saat anak-anak akan menempuh Ujian Akhir Madrasah (UAM). Guru tampaknya memang kurang berdaya berhadapan dengan UAS maupun UAS. Sebab kalau hasil UAS maupun UAM-nya jeblok mereka akan merasa bahwa dirinya adalah guru yang gagal. Inilah salah satu permasalahannya yang cukup serius.

Pertanyaannya adalah mengapa UAS dan UAM begitu ditakuti oleh guru? Karena selama ini soal-soal UAS dan UAM tidak dibuat oleh guru yang mengajar, tetapi dibuat oleh satuan atau perkumpulan guru, baik di tingkat kabupaten (FK3) atau di tingkat KKM (MGMP). Soal-soal yang dibuat oleh bukan guru pengajar memang wajar kalau menimbulkan ketakutan bagi guru yang tidak dilibatkan dalam pembuatannya karena ada kekhawatiran anak-anak yang diajarnya tidak bisa menjawab. Sehingga pemikiran singkatnya memilih untuk lebih baik memperbanyak pengetahuan daripada repot-repot memikirkan bagaimana membumikan atau mempraktikkan ilmu dan pengetahuan agama kepada setiap siswa yang diajarkan.

Pemikiran sederhana semacam ini ada benarnya, tetapi sesungguhnya perlu dan penting untuk dikritisi, karena ada kesan bahwa mempraktikkan ilmu dan pengetahuan hanya akan mengurangi kekuatan otak dalam menyerap dan mengingat ilmu dan pengetahuan. Ini sama kurang tepatnya ketika mengatakan bahwa kalau anak-anak banyak belajar tentang ilmu dan pengetahuan mereka tidak memiliki waktu untuk mempraktikkannya. Guru-guru akan mengatakan, “Mana cukup untuk mempraktikkan? Waktu kami hanya 2 jam pelajaran satu minggu.”

Sebetulnya yang diinginkan bukannya mempertentangkan antara teori dan praktik, atau mempertahankan teori kemudian menghilangkan yang praktik, atau sebaliknya. Melainkan bagaimana menyeimbangkan keduanya. Karena kita juga sadar bahwa praktik saja tanpa teori juga tidak akan membawa hasil pembelajaran maksimal. Demikian juga teori saja tanpa dipraktikkn juga hanya mengantarkan kepada kebingungan.

Memang tidak semua ilmu dan pengetahuan bisa dipraktikkan, tetapi dalam konteks pembelajaran agama, saya kira sangat banyak ilmu dan pengetahuan yang bisa dipraktikkan. Contoh yang sangat jelas adalah pembelajaran tentang shalat Tahajud dan Puasa Sunah Senin-Kemis. Guru mengajarkan tentang pengertian dan keutamaan shalat Tahajud dan juga puasa sunnah Senin-Kemis. Tetapi sangat jarang guru agama yang menyelenggarakan praktik shalat Tahajud dan mengajak anak-anak untuk berpuasa Senin-Kemis. Akibatnya pengetahuan dan ilmu tentang Shalat Tahajud dan puasa sunnah Senin-Kemis hanya diketahui dan tidak dipraktikkan. Kalau dipraktikkan saja tidak, bagaimana hal itu bisa dibiasakan?

Penulis jadi teringat ungkapan Lao Tze yang mengatakan bahwa kalau aku mendengar, maka aku lupa. Kalau aku melihat maka aku ingat sebagian, dan kalau aku melakukan maka aku akan paham. Ini artinya kalau anak-anak diajarkan mempraktikkan ilmu dan pengetahuan agama, maka kekhawatiran anak-anak menjadi kurang daya serap dan daya hafalnya menjadi tidak beralasan. Tindakan-tindakan praktis justru akan memperkuat daya serap dan daya ingat anak pada ilmu dan pengetahuan. Bahkan lebih dari itu tindakan-tindakan praktis akan memperkaya ilmu dan pengetahuan siswa karena sangat dimungkinkan siswa akan menemukan dan merasakan hal-hal baru dari praktik yang dirasakan. Ketika siswa mempraktikkan shalat Tahajud bisa jadi siswa akan menemukan manfaat-manfaat baru dan sangat pribadi sifatnya dibandingkan dengan segudang manfaat yang dijelaskan oleh guru. Demikian juga halnya dengan praktik puasa Senin-Kemis.


Tinggal Mau atau Tidak
Dengan memperhatikan bahwa antara praktik dan teori justru saling mendukung, maka sesungguhnya persoalannya tinggal pada action will atau kemauan untuk bertindak dari guru-guru agama sendiri. Kalau guru-gurunya tidak mau sedikit cape untuk merumuskan secara praktis bagaimana memadukan teori dan praktik, maka sesungguhnya akan terbuka sejuta jalan untuk melaksanakannya, tetapi kalau belum apa-apa sudah merasa sulit apalagi berpikir bahwa hanya akan merepotkan saja, maka pembelajaran agama hanya akan begini-begini saja sampai kapan pun.

Menjalani rutinitas hidup termasuk menjalani pekerjaan mengajar yang begini-begini saja sesungguhnya tidak menguntungkan. Kehidupan yang begini-begini saja adalah kehidupan yang tidak menantang. Karena tidak menantang maka kehidupan itu menjadi tidak memberikan banyak warna. Dengan demikian, maka kehidupan menjadi tidak nikmat. Nah, saya jadi bertanya apa yang dinikmati oleh guru agama—demikian juga guru yang lain—manakala mengajar hanya berjalan tidak ada dinamika?

Tawaran Jalan Keluar
Kata orang-orang bijak, kalau kita ingin mengubah apa yang di luar diri kita, maka yang harus diubah terlebih dahulu adalah apa yang ada di dalam diri kita. Kalau seorang guru ingin mengubah anak-anak agar mereka tidak hanya memperoleh teori dalam belajar agama, maka yang harus diubah terlebih dahulu adalah apa yang ada di dalam guru-guru agamanya. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.[2]

Nah, yang perlu diubah dari yang ada di dalam diri guru agama adalah pola pikir (mindset) dan pola aksi (actionset). Pola pikir guru agama yang mengatakan bahwa mengajar agama adalah mengajarkan ilmu dan pengetahuan agama sebaiknya diganti dengan membelajarkan ilmu dan pengetahuan sekaligus juga membelajarkan kehidupan beragama. Jadi anak-anak tidak hanya belajar ilmu dan pengetahuan agama tetapi juga belajar bagaimana cara-cara hidup beragama. Keduanya harus seimbang dan saling menguatkan. Belajar ilmu dan pengetahuan agama menjadi dasar bagi praktik-praktik hidup bergama, sedangkan belajar hidup beragama memperkaya dan memperdalam serta menghayati ilmu dan pengetahuan agama.

Adapun pola tindak atau actionset adalah akibat saja dari adanya perubahan pola pikir (mindset). Kalau guru-guru agama sudah memahami bahwa antara ilmu dan pengetahuan agama harus diseimbangkan dengan praktik hidup beragama, maka cara-cara mengajar, cara-cara penilaian, dan cara-cara mendekati anak dalam pembelajaran tentu harus selaras. Ketika mengajarkan shalat Tahajud yang selama ini hanya mengandalkan metode ceramah, perubahannya adalah menambahkannya dengan mempraktikkannya, syukur-syukur membiasakannya. Demikian juga halnya dengan pembelajaran puasa sunnah Senin-Kemis, pembelajaran Rukun Iman, dan sebagainya.

Dengan memperluas wilayah praktis dalam pembelajaran agama, mungkin dalam benak pikiran guru akan mengatakan bahwa penambahan itu akan menambah waktu. Pemikiran seperti itu benar kalau kita berpikirnya kuantitatif. Tetapi kalau berpikirnya kualitatif maka jawabannya akan “tidak selalu dan tidak harus”.

Cara berpikir kuantitatif akan mengatakan bahwa semakin banyak waktu dan tenaga serta bahan yang diberikan kepada anak maka akan semakin baik dan semakin berhasil sebuah pembelajaran, dan sebaliknya. Model berpikir seperti ini untuk konteks sekarang sudah kurang relevan. Pada kenyataannya semakin banyak waktu, semakin banyak tenaga, dan semakin banyak materi justru menjadikan anak stress. Daya stress ini semakin menjadi karena daya tampung anak terhadap materi pelajaran hanya mengandalkan pada otak sebagai penyimpan ilmu dan pengetahuan. Padahal ketika ilmu dan pengetahuan itu dibagi kepada wilayah-wilayah lain, seperti tangan, kaki, mata, telinga, bahkan pada wilayah hati, maka beban yang banyak itu menjadi ringan.

Jadi, persoalannya bukannya pada seberapa banyak waktu, tenaga, dan materi yang kita berikan dalam mengajar melainkan pada seberapa tepat dan seberapa berkualitas waktu, tenaga, dan materi yang kita berikan pada saat pembelajaran. Inilah yang dimaksud dengan model mengajar cerdas.

Berikut ini ada beberapa trik bagaimana kita bisa mengajarkan agama—dan juga pelajaran yang lain—secara cerdas. Tentu saja, trik ini bukan satu-satunya. Diharapkan guru bisa lebih kreatif dalam menemukan trik-trik mengajar cerdas. Dengan mengajar cerdas, niscaya mengajar akan menjadi hidup, mengajar akan menjadi lebih bergairah, dan mengajar akan menjadikan kita lebih bermakna sebagai seorang guru. Bukan sebaliknya menjadi beban yang membosankan dan memberatkan, menjadi rutinitas kerja yang konstan, dan menjadi sekadar “menghalalkan” insentif yang kita terima. Saya yakin, kita semua tidak mau seperti itu bukan? Nah, trik-trik yang dimaksudkan diantaranya adalah:

Pertama, kita harus bisa memilah secara jeli bagian materi yang substansi dan bukan substansi (accident). Nah, yang substansi inilah yang harus mendapatkan penekanan. Biasanya dalam seluruh mata pelajaran yang substansi—sejalan dengan Hukum Pareto[3]—kurang lebih hanya ada 20% materi yang dianggap substansial, sedangkan sisanya, yakni 80%, adalah materi-materi pelengkap. Demikian pulan hanya dalam materi yang tersaji dalam satu KD, biasanya yang substansi hanya ada 20% sisanya adalah pelengkap. Bukankah soal-soal yang keluar dalam ulangan pada umumnya juga hanya berjumlah 20% dari yang kita ajarkan? Kalau demikian halnya perlakukan yang 20% dan yang 80% itu secara proporsional. Pada yang 20% berikan penekanan dan ajarkan sampai tuntas, tetapi yang 80% serahkan saja kepada siswa untuk mencarinya sendiri.

Kedua, ajaklah anak-anak untuk menjawab pertanyaan mengapa dan pertanyaan bagaimana menerapkan dari materi yang dipelajari. Selama ini anak-anak hanya disodorkan pada pertanyaan apa. Akibatnya anak-anak tidak memahami manfaat atau makna dari materi yang dipelajari. Dengan mengajarkan anak-anak untuk menelisik dari pertanyaan mengapa dan bagaimana berarti mengajak anak untuk memaknai dan mengerti manfaat dari apa yang dipelajari. Proses pencarian makna dan manfaat berarti proses mengaktualisasikan atau mengkontekstualisasikan pelajaran dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Inilah barangkali yang dimaksudkan dengan pembelajaran bermakna dalam konteks Contextual Teaching and Learning (CTL)[4] dan dalam konteks Pembelajaran Quantum (Quantung Teaching).[5] Dalalam Pembelajaran Quantum dikenal dengan prinsip AMBAK, kependekan dari Apa Maknanya Bagiku. Maksudnya adalah upaya seseorang atau siswa untuk menemukan makna di balik materi yang dipelajari.

Implikasi dari langkah ini adalah anak-anak akan menjadi termotivasi untuk belajar karena ia paham betul makna dan manfaat dari apa yang dipelajari. Pertanyaannya adalah apakah hal itu berlaku secara otomatis? Memang ketika anak mengerti makna dan manfaat tidak secara otomatis kemudian ia termotivasi untuk belajar. Oleh karena itu guru memegang peranan penting untuk mengaitkan makna dan manfaat dengan motivasi. Saya kira semua orang memahami makna, manfaat, dan keuntungan berbuat baik. Diantaranya akan mendapatkan syurga. Tetapi mengapa masih ada orang yang tidak termotivasi untuk berbuat kebaikan? Salah satu diantaranya adalah karena kurangnya motivasi dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, guru memiliki peran yang besar dalam menciptakan motivasi belajar siswa. Nah, dengan mendorong anak untuk mencoba mencari sisi-sisi manfaat dan sisi praktis dari pembelajaran sepertinya siswa akan terdorong untuk belajar. Jangan sampai siswa kemudian berkata: AH, CUMA TEORI!!!

Ketiga, kita harus kreatif mencari sisi-sisi praktis dari pelajaran yang diajarkan. Selanjutnya kita juga harus kreatif menciptakan media pembelajaran yang ada di sekitar siswa, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah. Pembelajaran shalat berjamaah bisa memilih shalat berjamaah di mesjid madrasah atau masyarakat sebagai media untuk menajamkannya. Pembelajaran kebersihan kita bisa memilih lingkungan sekolah dan lingkungan rumah siswa sebagai medianya. Kejujuran bisa memanfaatkan koperasi dan kantin sekolah sebagai medianya. Kepedulian terhadap sesama bisa memilih anak jalanan sebagai medianya. Tatatertib sekolah bisa mengambil tatatertib madrasah sebagai medianya. Saya kira masih sangat banyak lingkungan di sekitar siswa dan madrasah yang bisa dijadikan sebagai media pembelajaran. Menjadikan lingkungan di sekitar siswa dan madrasah sebagai media pembelajaran berartu mengintegrasikan antara ilmu dan pengetahuan dengan kehidupan sekitar. Ini pulalah yang disebut dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal. Kata Nabi, ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon berambut lebat tetapi tidak ada buahnya. Jadi, kalau kita menjejali siswa terus-menerus dengan teori tanpa praktik, maka sesungguhnya kita sedang menanam pohon yang berdaun lebat tetapi tidak ada buahnya. Pohon yang demikian, paling hanya bisa untuk berteduh dan kayunya dibuat kayu bakar. Tetapi kita tidak bisa menikmati buahnya.

Dengan trik-trik yang sederhana ini, semoga bisa sedikit membumikan ilmu dan pengetahuan agama yang diajarkan kepada siswa kita. Kita tidak ingin siswa hanya sekadar tahu, tetapi tidak mampu untuk mengaplikasikan. Kita juga tidak ingin anak-anak kita sekadar pintar berpikir dan berceloteh tentang pengetahuan tetapi rendah kemauan dan kemampuan untuk mempraktikkannya. Bukankah agama Islam adalah agama amal? Simaklah pesan al-Qur’an
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُون
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.[6]
WallaHu a’lam bishawab


[1] Istilah alienasi berasal dari bahasa Latin alieanus yang berarti asing, maksudnya adalah suatu keadaan di mana hal-hal menjadi asing atau aneh bagi kesadaran. (Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: Rosda Karya, 1995, Cet. ke-1. hal. 7)
[2] Q.S. Ar-Ra’d/13: 11
[3] Hukum Pareto mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari bagian yang 20% akan menentukan yang 80%. Kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh 20% dari usaha yang dilakukannya. Oleh karena itu berikan fokus pada 20% dari apa yang dilakukan. (Baca: Richard Coch, The 80-20 Principle: Rahasia untuk Memperoleh Lebih Banyak Hasil dengan Lebih Sedikit Usaha, terj. Jakarta: BIP, 1997, Cet. ke-1)
[4] Salah satu prinsip dalam CTL adalah kebermaknaan, yaitu memberikan makna pada apa yang dipelajari dengan konteks kehidupan sehari-hari. Baca: Elaine B. Jhonson, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, terj. Bandung: MLC, 2007. Cet. ke-3)
[5] Baca: Boby De Potter dan Mike Hernacki, Quantum Teaching, Bandung: Kaifa, 1999, Cet. ke-4)
[6] Q.S. Ash-Shaff/61: 3
RAHMAT
Dari buku Etos Jansen Sinamo

Petang itu, Conrad, Si Juragan Sepatu, pulang kerja lebih awal. Dibersihkannya seluruh rumah, terutama ruang tamu. Kemudian ia memanggang roti, menyiapkan minuman, dan memgolah daging yang selama ini jarang dilakukan. Conrad sedang menunggu tamu agung. Tuhan akan datang ke rumahnya. Ia diberitahu lewat mimpi semalam.

Sepanjang sore, hujan turun terus. Udara sangat dingin, Conrad pun menantikan Tuhan dengan setia sambil merebus the. Namun Tuhan belum juga datang.

Lalu Conrad mulai memikirkan kebaikan Tuhan yang begitu istimewa kepadanya. “Biarkan tidak bersekolah tinggi, aku berhasil memiliki pabrik sepatu. Meskipun yatim piatu, aku diberi isteri dan sepasang anak yang baik. Meskipun bukan pria tampan, senyumku disukai penduduk kota. Meskipun tak punya kenalan orang hebat, usahaku maju terus.” Conrad membiarkan kebaikan Tuhan. Ia pun tenggelam dalam lamunan kilas balik yang menampilkan beberapa episode kehidupannya.

Tiba-tiba ada orang mengetuk. Conrad bergegas membuka buka pintu. Ternyata tukang pos. Conrad mempersilahkan pas pos berteduh dan menghidang the yang dia siapkan untuk Tuhan. “Terima kasih, Pak Conrad, the ini sungguh menghangatkan tubuhku,” kata tukang pos sambil pamit.

Saat mengantar pak pos itu keluar, dilihatnya seorang gadis kecil sedang menangis. Rupanya ia tersesat. Conrad memutuskan mengantar gadis itu ke rumahnya. Lalu ditempelnya pesan untuk Tuhan di pintu. “Tuhan, tolong tunggu sebentar, ada keperluan mendadak. Aku segera kembali.”
Menjelang malam, Conrad baru pulang. Dari kejauhan terlihat pintu rumahnya terbuka. Rianglah hati Conrad. “Tuhan sudah menungguku!” serunya dalam hati. Tetapi saat ia masuk, ternyata tetangga belakang rumahnya terbaring di ruang tamu penuh luka. Rupanya ia habis berkelahi dengan penjahat yang hendak merampok. Pria itu menggigil terkena infeksi. Sampai jauh malam Conrad dan beberapa warga kampong berjuang menurunkan demand an mengobati luka pria malang itu.

Malam mulai berganti dengan rembang pagi. Conrad sangat lelah, ia pun merebahkan tubuhnya di kasur dan terlelap hingga fajar mulai meninggi. Tiba-tiba Conrad terbangun. “Aduh, Tuhan pasti datang selagi aku tidur, aku telah mengecewakn Tuhan, mengapa aku tertidur?” sesalnya dalam hati.

Tiba-tiba telpon berdering. Ternyata dari Tuhan sendiri. Dan lewat kabel, Conrad mendengarkan suara Tuhan. “Halo, Conrad. Terima kasih atas semua kebaikanmu. Saat Aku kedinginan engkau memberikan the yang menghangatkan tubuh-Ku. Saat Aku tersesat, engkau menunjukkan jalan ke rumah-Ku. Dan saat Aku terluka engkau mengobati dan menjaga-Ku. Conrad, terima kasih banyak, karena kemarin Aku telah menjadi tamu di rumahmu.”

Conrad terkejut lalu menangis haru karena Tuhan berkenan menjadi tamunya meskipun dengan cara yang tidak pernah ia sangka-sangka. Conrad semakin bersyukur atas hidupnya yang penuh rahmat. Conrad semakin gemar menabur kebaikan dan bertekad menjadi orang yang lebih baik.


SANG GURU
Dari Majalah Madina
Ini cerita tentang penduduk di sebuah pulu yang tidak terlalu subur. Tanaman ada memang dapat menghidupi mereka, tetapi dengan mutu rendah. Di seberang pulau, sebenarnya ada sebuah pulau yang kaya tanaman dan buah bauh yang manis dan lezat. Masyarakat pulau mengetahui hal itu, tetapi hanya berdasarkan cerita turun-temurun.

Mereka malas untuk keluar dari pulau mereka. Mereka bukannya tidak memiliki perahu dan kapal untuk berlayar. Sejumlah guru mereka juga bercerita tentang cara-cara berlayar dengan baik untuk mencapai suatu daratan. Tetapi masalahnya mereka menganggap apa yang mereka miliki sudah cukup, sehingga selalu ada alasan yang menyebabkan mereka sibuk melakukan pekerjaan lain.

Suatu hari, datangnya seroang guru baru. Guru ini juga berbicara tentang pulau subur tersebut. Namun yang dikisahkannya berbeda dengan hikayat-hikayat yang sudah disampaikan orang lain. Ketika ia menggambarkan ras buah atau keharuman tumbuhan di sana, para pendengarnya seperti benar-benar dapat menghirup wangi dan mengecapnya.

Tapi ada satu hal yang sangat menganggu dari guru ini: suatu kali ia bercerita bahwa kepulauan itu terdiri dari lima pulaun kecil, di lain hari ia menyebut tujuh. Di suatu hari ia menggambarkan bentuk kepulauan itu seperti busur panah, di hari lain, ia menggambarkannya seperti lingkaran, dan seterusnya. Ceritanya tidak pernah konsisten. Satu-satunya yang konsisten darinya adalah bahwa dia menceritakannya dengan sangat menarik dan hirup.

Kehadirannya menimbulkan kontroversi. Sejumlah guru memberikan komentar miring mengenainya. Sejumlah guru lain pun tergerak untuk berpendapat. Maka timbullah pembicaraan ramai. Dan kali ini terjadilah sesuatu yang pernah berlangsung sebelumnya. Setelah sekian lama hanya membicarakan tentang suatu daratan di seberang sana, kini mereka mulai berencana untuk menuju ke daratan itu. Orang duduk di depan rumah, merancang peta, membicarakan angin, gelombang, dan jalur pelayaran.

Tak lama kemudian, mereka pun berlayar. Mereka berusaha mengikuti arah yang diperoleh dari cerita guru-guru mereka. Setelah melalui perjalanan yang lama dan melelahkan akhirnya mereka menemukan pulau yang dituju. Mereka kemudian membawa pulang berbagai buah yang sangat lezat untuk dibagikan kepada para tetangga.

Pada titik itu, tidak ada lagi yang peduli pada pertanyaan apakah kepulauan itu terdiri dari lima, enam, atau tujuah pulau. Apakah pulaunya berbentuk busur panah tau lingkaran.
Si guru tersebut tetap dikenang sebagai guru yang baik dan dicintai, walau seringkali ceritanya bertentangan.

Rabu, 28 Oktober 2009

Six Ways Mengajar yang Menyenangkan

SIX WAYS
MENGAJAR YANG MENYENANGKAN
Oleh Suhardi

Di dalam pembelajaran, seorang guru idealnya mampu menciptakan suasana pembelajaran sedemikian rupa, sehingga siswa aktif belajar untuk mendapatkan pengetahuan (knowledge), menyerap dan memantulkan nilai-nilai tertentu (value), dan terampil melakukan ketrampilan tertentu (skill). Pertanyaannya adalah suasana pembelajaran seperti apakah itu?

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, siswa akan dengan mudah untuk mengikuti pembelajaran kalau pembelajaran berada dalam suasana yang menyenangkan. Dalam suasana yang menyenangkan siswa akan bersemangat dan mudah menerima berbagai kebutuhan belajar. Dalam suasana yang menyenangkan pula siswa akan mampu mengikuti dan menangkap materi pelajaran yang sulit menjadi mudah. Singkatnya suasana yang menyenangkan merupakan katalisator yang bisa mengefektifkan pembelajaran.

Untuk bisa menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, setidak-tidaknya ada 6 (enam) yang bisa dilakukan oleh guru.
Pertama, ciptakan suasana ceria sejak awal membuka pelajaran. Suasana yang ceria mendorong siswa untuk berani dan kreatif melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran, seperti bertanya, menjawab pertanyaan, mendemontrasikan ketrampilan, dan sebagainya. Ketika Anda memasuki ruang kelas, usahakan agar wajah Anda tersenyum ramah dan selalu segar betapapun Anda sedang menghadapi masalah. Setelah Anda mengucapkan salam, mulailah menyapa siswa dengan menanyakan kabarnya atau secara spesifik menanyakan kesehatannya, dan sebagainya. Jangan sekali-kali menunjukkan wajah serius apalagi cemberut karena wajah yang demikian akan cepat sekali menyebar kepada siswa dan menciptakan suasana kelas menjadi tegang. Jangan sekali-kali pula Anda marah-marah di awal pembelajaran karena akan menghentikan psikologis siswa untuk belajar. Ingat pesan iklan AXE, pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda.

Kedua, di tengah-tengah pembelajaran, ciptakan humor-humor ringan yang menjadikan seluruhnya tertawa. Kalau siswa bisa tertawa itu berarti Anda telah membantu menghilangkan sekat-sekat psikolgosi yang bisa menghambat pembelajaran, seperti malu, takut, tertekan, dan semacamnya. Secara fisik tertawa juga akan mengendorkan otot-otot penting yang berhubungan dengan sel-sel otak. Tertawa bisa menjadikan otak kita segar dan sehat. Namun demikian, sebaiknya humor tidak dilakukan secara kebablasan. Upayakan agar humor-humor yang ciptakan berkaitan dengan materi yang sedang dipalajari, tetapi jika pun tidak, Anda bisa melakukan rasionalisasi bagaimana agar humor tersebut berkaitan. Oleh karena itu tidak ada salahnya kalau mulai sekarang Anda mengoleksi humor-humor ringan, baik melalui membaca buku atau mengoleksinya dari para humoris. Kalaupun Anda tidak memiliki cerita-cerita humor, Anda bisa memintanya dari siswa. Saya yakin siswa memiliki segudang cerita-cerita lucu.

Ketiga, gunakan metode yang bervariasi. Pada umumnya guru sangat senang dengan menggunakan metode ceramah, karena metode ini memang sangat mudah dilakukan. Tetapi metode ini jika dilakukan terus-menerus tidak disukai siswa, apalagi jika dilakukan pada jam-jam terakhir. Bayangkan, betapa lelahnya siswa kalau setiap hari mendengarkan ceramah guru dari jam pertama masuk (biasanya berkisar pukul 07.00) sampai guru yang mengajar di jam terakhir (berkisar pk. 13.00). Bete kan??? Olah karena itu kalau mengajar upayakan agar tidak selalu berceramah. Metode ceramah tetap penting untuk menjelaskan materi pelajaran, apalagi cerita-cerita humor memang hanya bisa dilakukan dengan ceramah, tetapi sesekali cobalah dengan metode lain, seperti diskusi, proyek, demontrasi, jigsaw, dan sebagainya. Metode pembelaharan yang bervariasi sesungguhnya tidak hanya menjadikan siswa senang, tetapi kita pun sebagai guru juga akan menikmati mengajar. Kalau tidak percaya, coba saja!!!

Keempat, jangan hanya mengajarkan apa, tetapi juga ajarkan bagaimana atau dengan kata lain jangan hanya teach to know tetapi jga harus teach to learn. Kalau Anda mengajar Matematika Anda jangan hanya mengajarkan materi geometeri atau aljabar, tetapi ajarkan pula bagaimana sih cara mudah untuk berhitung cepat dan akurat. Kalau Anda mengajarkan majas dalam pelajaran Bahasa Indonesia, Anda juga harus mengajarkan trik-trik menghafal majas secara mudah dan menyenangkan.

Menurut saya, sebetulnya tidak ada siswa yang tidak pandai apalagi bodoh, yang ada adalah siswa yang tidak mengerti bagaimana cara belajar yang tepat. Akibatnya betapapun siswa belajar siang malam, siswa mendapat hasil yang kurang memuaskan. Sekarang, saatnya siswa dilatih tidak hanya belajar keras atau belajar giat, tetapi belajar cerdas. Nah, belajar cerdas akan bisa diwujudkan kalau siswa diajarkan bagaimana cara mempelajari materi pelajaran secara tepat (teach to learn).

Kelima, dorong agar siswa terlibat aktif dalam pembelajaran. Upayakan agar kelas tidak hanya dikuasai oleh Anda tetapi menjadi milik bersama. Jika hanya Anda yang aktif, yakinlah Anda akan kelelahan. Bayangkan seperti apa lelahnya kalau Anda berceramah dari awal sampai akhir kira-kira 90 menit. Kalau dalam sehari Anda punya jadwal di 4 kelas, maka dalam sehari akan dituntut bercemarah selama 360 menit atau 6 jam. Lelah bukan? Oleh karena itu untuk menghindari kelelahan fisik, Anda bisa membagikan pekerjaan kepada siswa. Caranya adalah dengan melibatkan siswa dalam pembelajaran. Ketika Anda memahami teks bacaan, ajaklah siswa untuk terlibat memahami. Berikan kesempatan kepada siswa untuk menafsirkan bacaan tersebut. Ketika Anda menjelaskan suatu konsep ajaklah siswa untuk menjelaskan. Berikan kesempatan kepada siswa untuk ikut menjelaskan konsep yang dimaksud.

Memang, diperlukan sedikit waktu dan kesabaran, karena seringkali yang dilakukan siswa tidak langsung seratus persen benar. Tetapi bukankah ketika Anda menjelaskan sebuah konsep juga tidak secara otomatis siswa mampu menangkapnya seratus persen sama?

Yang perlu diingat adalah jangan sekali-kali memberikan cap salah mutlak terhadap apa yang sudah diupayakan siswa walaupun kenyataannya demikian, karena akan mematahkan semangat mereka untuk terlibat. Demikian juga jangan memberikan cap yang tidak menguntungkan kepada siswa, seperti “kamu bodoh”, “kamu payah”, “kamu sulit untuk diajari” dan sebagainya.

Ketika Anda melibatkan siswa dalam pembelajaran dengan disertai sikap sabar dan selalu memotivasi, Anda sebetulnya sedang menghargai diri siswa dan sedang mengeksplorasi potensi siswa. Sebaliknya ketika Anda tidak melibatkan siswa sama saja Anda sedang menutup pintu-pintu motivasi dan pintu-pintu potensi siswa yang sebetulnya bisa diaktualisasikan. Inilah yang sebetulnya mahal dalam pendidikan kita.

Keenam, akhir setiap sesi pembelajaran dengan kalimat-kalimat yang memotivasi. Saya pernah mengikuti suatu diskusi komite. Pada saat mengemukakan pendapat, seorang anggota komite, sebut saja namanya Pak Joko, tiba-tiba mengakhiri pendapatnya dengan kalimat-kalimat yang sangat memotivasi. Tuhan pasti akan memberikan makanan kepada setiap burung, tetapi Tuhan tidak akan melemparkan makanan itu ke sarangnya. Kalimat itu sangat berkesan, karena diungkapkan di akhir pembicaraannya.

Nah, pada saat mengajar tidak ada salahnya jika diakhiri dengan kalimat-kalimat yang memotivasi. Anda bisa membuat sendiri rumusan kalimat-kalimat motivasi tersebut atau bisa juga mengoleksinya dari buku-buku motivasi. Kalimat-kalimat motivasi ini penting untuk merawat atau memelihara semangat belajar siswa, bahkan juga merawat semangat kita untuk mengajar. Berikut ini bisa saya kutipkan beberapa kalimat-kalimat yang bisa memotivasi.
Ketekunan ibarat tetetasan air di atas batu besar. Tetesan air yang berlangsung terus-menerus pada akhirnya akan bisa memecahkan batu yang besar.
· Empat kali dua dan dua kali empat hasilnya akan sama, yaitu sama-sama delapan. Tetapi dalam proses belajar dua kalimat empat lebih bagus dari empat kali dua.
· Sesuatu yang tampaknya mustahil, pada awalnya sulit untuk dilakukan, tetapi kalau kita mencoba dan terus mencoba, maka yang mustahil itu akan menjadi mudah dan bisa dilakukan.
· Dalam belajar, salah itu biasa bagi pelajar. Yang salah adalah siswa yang tidak mau mencoba dan takut salah.


Tangerang, 5 Agustus 2008

Motivasi Diri

MEMOTIVASI DIRI
UNTUK MENJADI GURU HEBAT


Setiap kali saya meminta kepada guru untuk melakukan metode pembelajaran yang dinamis, sebagian guru selalu mengajukan pernyataan dengan nada mengeluh. “Sulit Pak untuk menerapkannya karena kita belum dilatih.” Sejenak saya berpikir merenungi pernyataan guru tersebut. Tidakkah mereka menyadari bahwa sebenarnya mereka adalah sarjana-sarjana pendidikan. Saya teringat bahwa sarjana sangat berbeda dengan diploma. Kalau sarjana selain dipersiapkan untuk menjadi tenaga profesional, mereka juga dipersiapkan untuk menjadi akademisi atau ilmuan. Itulah sebabnya mata kuliah untuk program sarjana juga disisipkan filsafat, psikologi, sosiologi, antropoligi, dan sejenisnya.

Kalau mereka adalah para sarjana, seharusnya mereka tidak selalu bermental untuk menunggu dilatih. Kalau menunggu dilatih maka akan tidak ada bedanya dengan para diploma yang memang dipersiapkan untuk praktisi profesional. Karena mereka tidak hanya sekadar praktisi profesional dalam bidang pendidikan tetapi juga sebagai akademisi atau ilmuwan, maka seharusnya mereka memiliki semangat untuk melakukan research dan kemudian menemukan cara-cara baru menurut kemampuan mereka sendiri.

Tetapi yang saya temui pada sebagian besar guru mindset menunggu untuk dilatih inilah yang hinggap di kepala mereka. Jika dilacak lebih jauh, maka mindset menunggu ini akan sama halnya dengan mindset pasif atau mindset tetap. Mindset seperti ini akan sangat kurang menguntungkan baik bagi guru maupun bagi anak-anak. Jika mindset seperti ini dipelihara, maka guru tidak akan bisa berkembang. Kalaulah berkembang ia membutuhkan dorongan dari luar. Sedangkan bagi siswa yang diajarkan oleh guru-guru yang bermindset seperti akan menjadikan mereka kurang bergairah belajar. Bahayanya adalah kalau mindset tetap tersebut hinggap dalam pribadi seorang guru, maka virus mindset tersebut juga akan menular kepada anak-anak.

Kita sangat berharap agar guru-guru yang merupakan contoh dari anak-anak di masa depan ini adalah orang-orang yang dinamis, progresif, dan kreatif untuk menemukan hal-hal baru. Itulah sebabnya mereka diharapkan untuk kembali kepada jati diri mereka sebagai seorang sarjana yang melakukan reseach dan temuan-temuan. Kita berharap mereka tidak lagi berharap untuk dilatih, tetapi sebaliknya mereka justru dengan temuan-temuannya mereka menjadi model yang nantinya jutsru akan melatih teman-teman guru lainnya. Semoga!!!